Pada suatu hari, di saat aku tengah asyik mereparasi komputer milik kakak calon istriku, aku terbayang akan sesuatu hal. Ingatan akan masa silam, saat-saat dimana tubuhku masih ramping atau lebih tepat bila disebut “ceking”.
Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Masa-masa pencarian jati diri dan arah hidup, sebagaimana firman Allah, “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya” (Q.S.Asy Syams: 8).
Di masa itu, telepon genggam/HP (Handphone) belumlah secanggih sekarang. Kepemilikan dari HP boleh dibilang dapat menjadi penanda seseorang itu termasuk golongan menengah ke atas. Bandingkan dengan zaman sekarang dimana tukang becak pun punya HP. Pernah suatu ketika, saat aku tengah naik becak, aku terkejut sambil menahan tawa karena tukang becaknya lagi asyik menggenjot sembari menelepon menggunakan HP. Ya, memang harga HP jauh lebih terjangkau sekarang, namun tetap tak semua orang dapat memilikinya.
Seperti dikutip dari Materi Tarbiyah (e-book version) dijelaskan bahwa dalam surat Nuh, Allah memerintahkan supaya meminta ampun kepada-Nya, niscaya Dia melimpahkan harta dan anak, sedang dalam Al Jin dijelaskan bahwa mereka yang hidup di atas jalan yang benar, akan mendapat rezeki yang besar dari Allah. Wallahu’alam.
Kembali ke masa di mana mahalnya harga HP. Ketika itu, tak hanya produk teleponnya saja yang mahal, simcard-nya pun sanggup menipiskan kantong kita yang memang telah tipis dikarenakan himpitan ekonomi.
Sungguh lucu rasanya bila dibandingkan dengan masa kini. Bayangkan saja, ketika di bangku kuliah S1, aku pernah membeli simcard seharga Rp.4.000,-/buah atau Rp.10.000,-/3 buah dengan tiap simcard memiliki isi pulsa Rp.10.000,-.
Jelas saja kesempatan itu benar-benar aku manfaatkan, karena sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dakwah kampus dan organisasi formal kampus, aku membutuhkan cukup banyak pulsa agar dapat saling kontak dengan rekan-rekanku. Seingatku, aku sampai membeli 9 buah simcard, atau dengan kata lain, dengan modal Rp.30.000,- aku sudah mendapatkan pulsa Rp.90.000,-, percaya?
HP, simcard dan pulsa menjadi trio yang berkontribusi besar bagi pesatnya laju dakwah di muka bumi ini. Bagaimana tidak, dalam tempo satu menit saja kita dapat saling bertukar kabar, saling taushiyah mentaushiyahi maupun sekedar menyambung silaturrahim dengan saudara kita yang terpisahkan oleh geografis.
Tak dapat dipungkiri, ketika memperoleh HP untuk pertama kalinya, yaitu di kelas 3 SMA, aku merasa sangat senang sekali, walau kutahu itu bukanlah HP baru. Selama ini, ketika menyentuh HP orang lain, misalnya HP saudaraku, aku selalu merasa grogi dan kurang percaya diri untuk memegangnya, bahkan sampai tanganku gemetar. Entah karena khawatir HP tersebut rusak, terjatuh, ada memori yang hilang, maupun kejadian tak diharapkan lainnya karena saat itu aku masih merasa gagap teknologi.
Namun, ketika aku memegang HP milikku sendiri, rasa percaya diri itu mulai muncul, aku mulai belajar berani untuk mengutak-atiknya, padahal fitur di dalamnya sebenarnya masih sederhana sekali, maklum saja, HP pertamaku itu memang merupakan model lama yang fungsinya lebih kepada SMS (Short Message Service) dan telepon. Bahkan nada deringnya pun masih monotone.
Tak hanya gagap teknologi pada HP saja, tapi aku pun merasakannya ketika harus menyentuh komputer. Walaupun sejak SD aku sudah mengenal DOS, di SMP aku mengenal Wordstar dan DBbase III, dan di SMA aku mengenal Microsoft, tapi rasanya aku masih terlalu hijau apalagi bila bertemu dengan istilah ”install”. Di rumah sebenarnya ada 1 unit komputer yang walaupun model tempo dulu (dengan lubang untuk disket besar dan kecil dilengkapi kabel berukuran besar) namun jarang kuoperasikan kecuali untuk keperluan main game.
Masa kuliah menjadi titik tolak yang melontarkan diriku tinggi hingga aku dapat melihat lanskap (bentang alam – Pen.) kehidupan dengan lebih jelas. Di masa awal kuliah, aku sempat terheran-heran bagaimana seorang temanku dapat memenangkan lomba desain jaket asrama TPB IPB dan bagaimana dia membuat desain itu. Aku yang pada saat itu telah menggeluti dunia desain sempat merasa heran, karena kala itu aku masih mengandalkan kemampuan kedua tanganku ini untuk menggambar. Ya, aku memang belum bersentuhan kulit dengan si desain grafis.
Sepeninggalnya dari kehidupan asrama, ternyata Allah telah menyiapkan suatu jalan panjang untuk kulalui yang tak kuduga sebelumnya. Betapa beruntungnya aku dapat tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana bersama teman-temanku (yang belakangan kuketahui mereka adalah para aktivis dakwah kampus) lalu kami beri nama rumah tinggal itu ”Pondok Al-Kahfi”. Dalam mencari tempat tinggal memang ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu akses ke masjid/musholla dan siapa yang menjadi tetangga.
Pada satu kesempatan, Ibuku pernah mewanti agar aku tak ikut-ikutan demonstrasi yang tak jelas. Waktu itu memang tengah marak demo turun ke jalan, salah satunya mengangkat isu seputar kenaikan harga BBM yang melibatkan nama BEM, singkatan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (Senat Mahasiswa – Pen.).
Saat itu, dalam benakku pribadi, BEM memang identik dengan demo, dan aku cukup ngeri membayangkan bila harus berhadapan dengan batu, pentungan, maupun peluru. Lucu juga rasanya bila mengamati kadar keimanan kita sendiri. Kita kadang merasa takut dengan sesuatu hal yang dapat menyakiti diri, akan tetapi kita sering lupa untuk takut pada Allah, Dzat Yang Memiliki kita dan sesuatu hal yang dapat menyakiti kita tadi.
Namun, ketika Allah, Sang Sutradara, Pemilik skenario raksasa berlatar dunia ini menginginkan suatu hal terjadi, maka terjadilah. Bukan tanpa sebab Allah menempatkan diriku di Pondok Al-Kahfi bersama dengan teman-temanku yang seperti itu. Karena, dari merekalah hasratku untuk berorganisasi kembali menggebu setelah sebelumnya sempat terbenam di rimba diri dalam kurun hampir 2 tahun.
Pada suatu hari, salah seorang teman kontrakanku berkata padaku, ”Mip, ente cocoknya di BEM, nanti daftar ya!”, ”Hah? Kenapa BEM? Mang kalau menurut ente, ane daftar ke departemen apa? Ane belum ngerti apapun soal BEM”, ”Kalau menurut ane, ente kayaknya cocok masuk ke departemen Minat dan Bakat atau ke departemen Teknologi Informasi”. Dan begitulah, aku pun mendaftar ke departemen Minat dan Bakat di pilihan pertama dan Teknologi Informasi di pilihan kedua, lalu mengikuti proses wawancara. Ada satu hal yang masih terngiang dalam kenanganku. Ketika diwawancara, aku ditanya, ”menurutmu BEM itu apa?” kujawab dengan polosnya sambil membayangkan orang-orang berdasi, ”BEM itu yah.. yang kelihatan eksekutif gitu deh pokoknya..”, sambil tersenyum, sang pewawancara yang tak lain adalah ketua BEM itu sendiri berkata, ”BEM adalah pelayan mahasiswa”. Kata-kata yang takkan pernah kulupa.
Tak disangka, ternyata aku diterima sebagai anggota BEM Fakultas Pertanian IPB, tak hanya itu, diriku yang masih terbilang gaptek dan awam terhadap organisasi formal kampus ini justru diterima di departemen Teknologi Informasi, dan yang jauh lebih mengejutkan lagi ternyata aku diamanahi sebagai Kepala Biro Pers dan Jurnalistik?!
Sebagai staf TI tentu aku menjadi sering menggunakan komputer di sekret, terlebih lagi ketika aku diamanahi sebagai ketua panitia salah satu proker. Awalnya agak sungkan juga aku menggunakan komputer sekret, tapi justru disanalah aku belajar berbagai macam hal terkait penggunaan komputer dari teman-temanku hingga teknik memunculkan file yang disembunyikan oleh virus.
Resiko menjadi seorang ketua panitia adalah harus siap melakukan segala sesuatunya sendiri dan mem-backing semua divisi. Tak hanya itu, aku merasakan suatu beban tanggung jawab yang luar biasa yang entah dirasakan oleh rekan panitia lainnya atau tidak. Aku merasa akan menjadi orang yang dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir nanti terkait proses berjalannya acara ini memenuhi kaidah syar’i atau tidak.
Pada periode itu, diriku memang tengah belajar arti militansi keislaman, namun masih belum dapat kukendalikan sehingga terkesan kaku dan otoriter. Aku membuat peraturan di mana rapat general dan divisi tidak boleh melebihi Pkl.20.30 WIB, aku pun melarang apabila ada rekan sesama panitia yang berlawanan jenis jalan berduaan dalam kegiatan ini. Sayangnya, tindakanku itu dinilai berlebihan dan mendapat reaksi negatif dari rekan panitia lain.
Di BEM ini aku belajar banyak hal. Aku belajar untuk mengedit proposal dan membuatnya menjadi proposal berukuran A5 dengan cara manual. Aku belajar mengenai setting-an printer. Aku belajar ini.. aku belajar itu.. dan masih banyak lagi yang kupelajari. Tapi yang terpenting, aku belajar mengenai karakter manusia dan penggunaan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi dalam ranah da’wah.
Di saat aku mulai merasakan apa yang disebut dengan sense of belonging atau rasa memiliki, rasanya sekret BEM itu sudah seperti rumah tinggal keduaku di Bogor. Wajar jika aku merasa demikian karena aku kerap menginap di sekret tersebut, kadang sendiri, berdua, bertiga, atau beramai-ramai, tentu saja lelaki semua. Pada saat luang pun aku lebih memilih untuk singgah ke sekret tercinta ini dan menulis di Buku Komunikasi.
Lebih dari itu, di BEM ini aku mengenal seorang sahabat bernama Awang. Keahliannya di bidang desain grafis membuatku kagum dan terpana. Ya, dialah inspirasiku untuk meraih satu kemampuan yang sempat membuatku terheran-heran di masa awal kuliah dulu ketika ada temanku yang memenangkan lomba desain jaket. Kemampuan di bidang desain grafis.
Awang memang cukup lihai memainkan program Corel Draw, dia pun sebenarnya belajar banyak dari Mas Ari, kakak kelasku di Arsitektur Lanskap yang kemampuan desainnya dapat membuatku berdecak kagum. Tapi, entah mengapa, aku justru terinspirasi oleh si Awang ini.
Berbekal sebuah buku tutorial Adobe Photoshop yang kupinjam dari seorang teman, aku makin sering menginap di sekret BEM karena pada saat malam tiba aku dapat menggunakan komputernya untuk belajar Adobe Photoshop. Kadang jika ada waktu luang, aku juga mampir kesana apalagi aku dipinjami kunci sekret oleh Kepala Departemen Teknologi Informasi.
Teknik demi teknik kucoba praktekkan, walau belum menguasai benar, namun ketika melihat hasilnya, dapat membuat bibirku reflek tertarik ke kiri dan ke kanan 2 cm. Puncaknya ketika aku memenangkan lomba desain kartu lebaran yang diadakan oleh DKM Al-Hurriyyah IPB pada 1427H yang bahkan membuat Awang kaget. Jangankan Awang, aku sendiri juga sangat terkejut mendengar berita itu karena awalnya aku menyangka Awang yang akan menang.
Tak berapa lama dari proses perkenalan dengan desain grafis itu, Ayahku membeli sebuah komputer Pentium IV. Kali ini, aku tak ragu lagi dalam mengoperasikan, menginstalasi, maupun mengutak-atik program di dalamnya karena aku telah mengumpulkan berbagai bekal selama di BEM Fakultas Pertanian itu.
Pada awalnya, memang komputer sempat jadi bermasalah, bahkan sampai harus diinstal ulang Windows-nya beberapa kali. Tapi dari sanalah proses pembelajaran itu bermula karena pengalaman adalah guru terbaik dan terindah. Semua adalah proses pembelajaran menuju pendewasaan. Sebuah proses indah dari sebongkah tanah liat hingga menjadi cangkir cantik. Proses panjang penuh perjuangan hingga akhirnya kini aku dapat melebarkan sayap da’wah melalui dunia maya. Membuat situs da’wah yang menyediakan produk kaos muslim maupun membuat grup di Facebook ”Syi’arkan Islam melalui Kaos Oblong”.
Mungkin ada yang bertanya, ”Bagaimana dengan demo-demo ketika aku masuk di BEM dulu? Bukankah aku ngeri bila berhadapan dengan batu, pentungan, dan peluru?”. Itu adalah suatu kisah indah yang takkan kulupa dan akan kuceritakan di ”Pengalaman Pertamaku Mengikuti Aksi Mahasiswa”.
Maraji’:
Sungguh lucu rasanya bila dibandingkan dengan masa kini. Bayangkan saja, ketika di bangku kuliah S1, aku pernah membeli simcard seharga Rp.4.000,-/buah atau Rp.10.000,-/3 buah dengan tiap simcard memiliki isi pulsa Rp.10.000,-.
Jelas saja kesempatan itu benar-benar aku manfaatkan, karena sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dakwah kampus dan organisasi formal kampus, aku membutuhkan cukup banyak pulsa agar dapat saling kontak dengan rekan-rekanku. Seingatku, aku sampai membeli 9 buah simcard, atau dengan kata lain, dengan modal Rp.30.000,- aku sudah mendapatkan pulsa Rp.90.000,-, percaya?
HP, simcard dan pulsa menjadi trio yang berkontribusi besar bagi pesatnya laju dakwah di muka bumi ini. Bagaimana tidak, dalam tempo satu menit saja kita dapat saling bertukar kabar, saling taushiyah mentaushiyahi maupun sekedar menyambung silaturrahim dengan saudara kita yang terpisahkan oleh geografis.
Tak dapat dipungkiri, ketika memperoleh HP untuk pertama kalinya, yaitu di kelas 3 SMA, aku merasa sangat senang sekali, walau kutahu itu bukanlah HP baru. Selama ini, ketika menyentuh HP orang lain, misalnya HP saudaraku, aku selalu merasa grogi dan kurang percaya diri untuk memegangnya, bahkan sampai tanganku gemetar. Entah karena khawatir HP tersebut rusak, terjatuh, ada memori yang hilang, maupun kejadian tak diharapkan lainnya karena saat itu aku masih merasa gagap teknologi.
Namun, ketika aku memegang HP milikku sendiri, rasa percaya diri itu mulai muncul, aku mulai belajar berani untuk mengutak-atiknya, padahal fitur di dalamnya sebenarnya masih sederhana sekali, maklum saja, HP pertamaku itu memang merupakan model lama yang fungsinya lebih kepada SMS (Short Message Service) dan telepon. Bahkan nada deringnya pun masih monotone.
Tak hanya gagap teknologi pada HP saja, tapi aku pun merasakannya ketika harus menyentuh komputer. Walaupun sejak SD aku sudah mengenal DOS, di SMP aku mengenal Wordstar dan DBbase III, dan di SMA aku mengenal Microsoft, tapi rasanya aku masih terlalu hijau apalagi bila bertemu dengan istilah ”install”. Di rumah sebenarnya ada 1 unit komputer yang walaupun model tempo dulu (dengan lubang untuk disket besar dan kecil dilengkapi kabel berukuran besar) namun jarang kuoperasikan kecuali untuk keperluan main game.
Masa kuliah menjadi titik tolak yang melontarkan diriku tinggi hingga aku dapat melihat lanskap (bentang alam – Pen.) kehidupan dengan lebih jelas. Di masa awal kuliah, aku sempat terheran-heran bagaimana seorang temanku dapat memenangkan lomba desain jaket asrama TPB IPB dan bagaimana dia membuat desain itu. Aku yang pada saat itu telah menggeluti dunia desain sempat merasa heran, karena kala itu aku masih mengandalkan kemampuan kedua tanganku ini untuk menggambar. Ya, aku memang belum bersentuhan kulit dengan si desain grafis.
Sepeninggalnya dari kehidupan asrama, ternyata Allah telah menyiapkan suatu jalan panjang untuk kulalui yang tak kuduga sebelumnya. Betapa beruntungnya aku dapat tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana bersama teman-temanku (yang belakangan kuketahui mereka adalah para aktivis dakwah kampus) lalu kami beri nama rumah tinggal itu ”Pondok Al-Kahfi”. Dalam mencari tempat tinggal memang ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu akses ke masjid/musholla dan siapa yang menjadi tetangga.
Pada satu kesempatan, Ibuku pernah mewanti agar aku tak ikut-ikutan demonstrasi yang tak jelas. Waktu itu memang tengah marak demo turun ke jalan, salah satunya mengangkat isu seputar kenaikan harga BBM yang melibatkan nama BEM, singkatan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (Senat Mahasiswa – Pen.).
Saat itu, dalam benakku pribadi, BEM memang identik dengan demo, dan aku cukup ngeri membayangkan bila harus berhadapan dengan batu, pentungan, maupun peluru. Lucu juga rasanya bila mengamati kadar keimanan kita sendiri. Kita kadang merasa takut dengan sesuatu hal yang dapat menyakiti diri, akan tetapi kita sering lupa untuk takut pada Allah, Dzat Yang Memiliki kita dan sesuatu hal yang dapat menyakiti kita tadi.
Namun, ketika Allah, Sang Sutradara, Pemilik skenario raksasa berlatar dunia ini menginginkan suatu hal terjadi, maka terjadilah. Bukan tanpa sebab Allah menempatkan diriku di Pondok Al-Kahfi bersama dengan teman-temanku yang seperti itu. Karena, dari merekalah hasratku untuk berorganisasi kembali menggebu setelah sebelumnya sempat terbenam di rimba diri dalam kurun hampir 2 tahun.
Pada suatu hari, salah seorang teman kontrakanku berkata padaku, ”Mip, ente cocoknya di BEM, nanti daftar ya!”, ”Hah? Kenapa BEM? Mang kalau menurut ente, ane daftar ke departemen apa? Ane belum ngerti apapun soal BEM”, ”Kalau menurut ane, ente kayaknya cocok masuk ke departemen Minat dan Bakat atau ke departemen Teknologi Informasi”. Dan begitulah, aku pun mendaftar ke departemen Minat dan Bakat di pilihan pertama dan Teknologi Informasi di pilihan kedua, lalu mengikuti proses wawancara. Ada satu hal yang masih terngiang dalam kenanganku. Ketika diwawancara, aku ditanya, ”menurutmu BEM itu apa?” kujawab dengan polosnya sambil membayangkan orang-orang berdasi, ”BEM itu yah.. yang kelihatan eksekutif gitu deh pokoknya..”, sambil tersenyum, sang pewawancara yang tak lain adalah ketua BEM itu sendiri berkata, ”BEM adalah pelayan mahasiswa”. Kata-kata yang takkan pernah kulupa.
Tak disangka, ternyata aku diterima sebagai anggota BEM Fakultas Pertanian IPB, tak hanya itu, diriku yang masih terbilang gaptek dan awam terhadap organisasi formal kampus ini justru diterima di departemen Teknologi Informasi, dan yang jauh lebih mengejutkan lagi ternyata aku diamanahi sebagai Kepala Biro Pers dan Jurnalistik?!
Sebagai staf TI tentu aku menjadi sering menggunakan komputer di sekret, terlebih lagi ketika aku diamanahi sebagai ketua panitia salah satu proker. Awalnya agak sungkan juga aku menggunakan komputer sekret, tapi justru disanalah aku belajar berbagai macam hal terkait penggunaan komputer dari teman-temanku hingga teknik memunculkan file yang disembunyikan oleh virus.
Resiko menjadi seorang ketua panitia adalah harus siap melakukan segala sesuatunya sendiri dan mem-backing semua divisi. Tak hanya itu, aku merasakan suatu beban tanggung jawab yang luar biasa yang entah dirasakan oleh rekan panitia lainnya atau tidak. Aku merasa akan menjadi orang yang dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir nanti terkait proses berjalannya acara ini memenuhi kaidah syar’i atau tidak.
Pada periode itu, diriku memang tengah belajar arti militansi keislaman, namun masih belum dapat kukendalikan sehingga terkesan kaku dan otoriter. Aku membuat peraturan di mana rapat general dan divisi tidak boleh melebihi Pkl.20.30 WIB, aku pun melarang apabila ada rekan sesama panitia yang berlawanan jenis jalan berduaan dalam kegiatan ini. Sayangnya, tindakanku itu dinilai berlebihan dan mendapat reaksi negatif dari rekan panitia lain.
Di BEM ini aku belajar banyak hal. Aku belajar untuk mengedit proposal dan membuatnya menjadi proposal berukuran A5 dengan cara manual. Aku belajar mengenai setting-an printer. Aku belajar ini.. aku belajar itu.. dan masih banyak lagi yang kupelajari. Tapi yang terpenting, aku belajar mengenai karakter manusia dan penggunaan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi dalam ranah da’wah.
Di saat aku mulai merasakan apa yang disebut dengan sense of belonging atau rasa memiliki, rasanya sekret BEM itu sudah seperti rumah tinggal keduaku di Bogor. Wajar jika aku merasa demikian karena aku kerap menginap di sekret tersebut, kadang sendiri, berdua, bertiga, atau beramai-ramai, tentu saja lelaki semua. Pada saat luang pun aku lebih memilih untuk singgah ke sekret tercinta ini dan menulis di Buku Komunikasi.
Lebih dari itu, di BEM ini aku mengenal seorang sahabat bernama Awang. Keahliannya di bidang desain grafis membuatku kagum dan terpana. Ya, dialah inspirasiku untuk meraih satu kemampuan yang sempat membuatku terheran-heran di masa awal kuliah dulu ketika ada temanku yang memenangkan lomba desain jaket. Kemampuan di bidang desain grafis.
Awang memang cukup lihai memainkan program Corel Draw, dia pun sebenarnya belajar banyak dari Mas Ari, kakak kelasku di Arsitektur Lanskap yang kemampuan desainnya dapat membuatku berdecak kagum. Tapi, entah mengapa, aku justru terinspirasi oleh si Awang ini.
Berbekal sebuah buku tutorial Adobe Photoshop yang kupinjam dari seorang teman, aku makin sering menginap di sekret BEM karena pada saat malam tiba aku dapat menggunakan komputernya untuk belajar Adobe Photoshop. Kadang jika ada waktu luang, aku juga mampir kesana apalagi aku dipinjami kunci sekret oleh Kepala Departemen Teknologi Informasi.
Teknik demi teknik kucoba praktekkan, walau belum menguasai benar, namun ketika melihat hasilnya, dapat membuat bibirku reflek tertarik ke kiri dan ke kanan 2 cm. Puncaknya ketika aku memenangkan lomba desain kartu lebaran yang diadakan oleh DKM Al-Hurriyyah IPB pada 1427H yang bahkan membuat Awang kaget. Jangankan Awang, aku sendiri juga sangat terkejut mendengar berita itu karena awalnya aku menyangka Awang yang akan menang.
Tak berapa lama dari proses perkenalan dengan desain grafis itu, Ayahku membeli sebuah komputer Pentium IV. Kali ini, aku tak ragu lagi dalam mengoperasikan, menginstalasi, maupun mengutak-atik program di dalamnya karena aku telah mengumpulkan berbagai bekal selama di BEM Fakultas Pertanian itu.
Pada awalnya, memang komputer sempat jadi bermasalah, bahkan sampai harus diinstal ulang Windows-nya beberapa kali. Tapi dari sanalah proses pembelajaran itu bermula karena pengalaman adalah guru terbaik dan terindah. Semua adalah proses pembelajaran menuju pendewasaan. Sebuah proses indah dari sebongkah tanah liat hingga menjadi cangkir cantik. Proses panjang penuh perjuangan hingga akhirnya kini aku dapat melebarkan sayap da’wah melalui dunia maya. Membuat situs da’wah yang menyediakan produk kaos muslim maupun membuat grup di Facebook ”Syi’arkan Islam melalui Kaos Oblong”.
Mungkin ada yang bertanya, ”Bagaimana dengan demo-demo ketika aku masuk di BEM dulu? Bukankah aku ngeri bila berhadapan dengan batu, pentungan, dan peluru?”. Itu adalah suatu kisah indah yang takkan kulupa dan akan kuceritakan di ”Pengalaman Pertamaku Mengikuti Aksi Mahasiswa”.
Maraji’:
Al-Qur’an
Materi Tarbiyah (e-book version)
0 komentar:
Posting Komentar