Mengajar? Sepertinya aku tak berbakat untuk itu. Terlebih lagi, aku bukanlah tipe orang yang pede tampil di hadapan orang banyak. Tapi mungkin, kemampuanku untuk melakukan pendekatan personal-lah yang membuat anak-anak MI itu selalu menunggu kehadiranku...
Pengalamanku ini terjadi sekitar tahun 2006. Ketika itu, aku sedang menjalani masa KKP (Kuliah Kerja Praktek) sebagai seorang mahasiswa S1 Arsitektur Lanskap di salah satu PTN di Bogor. Ya, tepat sekali! Aku memang senang mendisain, itu sebabnya aku mengambil jurusan ini.
Aku memperoleh lokasi KKP di salah satu kelurahan di daerah Bogor (huhuhu... padahal aku inginnya bisa keluar provinsi, seperti kawanku yang mendapat tempat di Brebes). Singkat cerita, kelompok KKP-ku terdiri dari 6 orang yang berasal dari berbagai bidang ilmu berbeda. Masing-masing dari kami membuat praktek tersendiri. Namun karena kami satu kelompok, sehingga kami pun bahu membahu guna menyelesaikan setiap program yang kami rancang bersama.
Sebagai seorang mahasiswa Arsitektur Lanskap, aku merencakan untuk merancang taman di sekolah MI (Madrasah Ibtidaiyah) di kelurahan tersebut, taman di kelurahan, dan taman di pekarangan rumah tempat kami menumpang tinggal. Antara sekolah, kantor kelurahan, dan pekarangan rumah, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, lho!
Nah, salah seorang teman sekelompokku, yang juga ketua kelompok kami, membuat program untuk mengajar di MI tersebut. Lantas, kami pun berkunjung ke rumah Kepala Sekolah (yang ternyata juga pemilik MI tersebut). Sambutan hangat pun kami terima, bahkan pihak sekolah dengan senang hati mempersilakan kami untuk turut mengajar di sana. Tentunya, program praktekku juga turut disisipkan, yakni membuat taman sekolah.
Hmm.. hari pertama mengajar pun tiba. Aku mengenakan pakaian semi formal plus jaket motor. Ketua kelompok kami mengenakan kemeja dan memang terlihat sebagai sosok akademisi. Sementara, 4 orang kawan kami yang lain adalah perempuan dan salah seorang di antaranya cukup terlihat seperti berasal dari keluarga yang cukup berada.
Kami pun mengunjungi ruangan kelas 3 di MI tersebut. Kelima rekanku masuk duluan ke dalam kelas, sementara aku masih berdiri di luar melihat kondisi di dalam sambil dag dig dug... Saat Ketua Kelompok kami itu mencoba menerangkan sesuatu, ternyata anak-anak MI (yang masih imut-imut) itu tidak mendengarkan. Mereka malah asyik bermain-main sendiri dan tertawa. Sementara, rekan-rekanku yang perempuan juga belum berpengalaman menghadapi anak-anak seusia mereka (walau saya yakin, mereka cukup terampil jika berhadapan dengan orang dewasa). Uh-oh, kondisi ternyata di luar dugaan, kami bingung harus bagaimana menghadapi mereka.
Saat itulah, aku teringat sebuah manga (yang kemudian dijadikan drama Jepang) berjudul "Great Teacher Onizuka (GTO)". Pernah nonton? Yup, ceritanya Onizuka itu seorang mantan Ketua Geng Motor yang cukup ditakuti, walau dia sebenarnya adalah seorang gentleman yang baik hati. Onizuka dan kawan-kawannya pun lantas ingin mencari penghasilan dengan cara yang baik-baik. Salah seorang kawan gengnya justru malah menjadi polisi, dan siapa sangka ternyata Onizuka menjadi seorang guru!! Tapi yang dia ajar bukanlah murid biasa. Murid-murid tersebut terkenal dengan kebrutalan dan kenakalannya yang luar biasa di luar batas etika.
Saat itulah hadir sosok seorang guru bernama Onizuka, yang rela mengorbankan nyawanya demi murid-muridnya itu dan membimbing mereka kembali ke jalan yang benar. Di kemunculan pertamanya di kelas tersebut, ia menuliskan "GTO" di papan tulis, yang berarti "Great Teacher Onizuka".
Ups, ceritanya jadi terlalu panjang. Back to the story... Jadi, berbekal pengalamanku menonton drama tersebut, aku yakin bahwa aku dapat mengambil perhatian anak-anak itu melalui pendekatan persuasif. Di saat teman-teman sekelompok aku sudah menyerah, aku kemudian tiba-tiba masuk ke dalam kelas (dengan masih mengenakan jaket motor). Kuambil sebuah kapur, dan dengan keterampilanku menggambar, kutuliskan namaku dengan bentuk yang unik (terinspirasi dari Onizuka).
Usai menggambar, aku pun memperkenalkan diri. Para murid yang tadinya berisik dan sibuk sendiri perlahan satu per satu terdiam. Sepertinya baru kali itu mereka melihat ada guru yang menggambar bentuk namanya dengan unik untuk sekadar berkenalan. Mereka nampak terkesima (ups, agak lebay ya ceritanya :P ), bahkan beberapa anak sampai maju mendekati papan tulis untuk mengamati gambar tersebut.
Beberapa detik kemudian... riuh kicauan mereka ingin berkenalan denganku dan mendengarkan materi pelajaran. Ya, caraku menyampaikan pelajaran tidak sebagai orang yang merasa lebih tahu dari mereka, tapi aku coba menempatkan diri juga sebagai "orangtua", atau bahkan "teman" bagi mereka. Kubuat mereka merasa, bahwa aku pun ingin mengenal mereka semua, satu per satu, tak hanya diri mereka sebagai murid, tapi sebagai anak manusia.
Rupanya, kejadian itu menarik rasa ingin tahu murid-murid kelas 4 dan 5. Sebagian dari mereka ada yang mengintip ke kelas kami saat aku tengah mengajar. Dan, begitu kelas selesai dan aku keluar, rupanya diriku telah ditunggu oleh mereka. Mereka "menembak"-ku agar mau mengajar di kelas mereka juga.
Sejak saat itu, aku dkk bergantian mengajar di kelas 3, 4 dan 5. Kami tidak mengajar di kelas 6 karena mereka masuknya siang. Tapi, entah mengapa setiap kali aku yang masuk ke kelas, mereka nampak begitu antusias, bahkan tanpa segan berteriak "horee....".
Saat aku mengajar, biasanya kucoba menghidupkan suasana dengan berinteraksi dengan para murid sambil mencoba mengenal mereka. Aku pun mengambil contoh-contoh dari praktek kehidupan sehari-hari dan meminta mereka untuk berbagi cerita. Tak jarang aku mengajar sambil sesekali membuat gambar di papan tulis untuk menarik perhatian mereka.
Lucunya, beberapa murid kelas 3 ada yang sampai bermanja-manja padaku, seolah aku ini seperti kakaknya atau orangtuanya. Bahkan, aku sampai merasa jadi artis karena murid-murid di kelas itu menodongku untuk foto bareng mereka usai sekolah. Jadi, di antara mereka itu ada seorang anak perempuan yang nampak bisa mengoordinir teman-temannya. Anak itu berkata, "Sstt.. kita nanti mau foto-foto sama Pak Miftah. Tapi cuma kita-kita aja, jangan sampai kelas lain pada tau ya.."
Alhasil sepulang sekolah, mereka langsung buru-buru menutup pintu kelas dan memasang gorden untuk menutup jendela. Lalu mereka memaksaku untuk foto bareng mereka menggunakan handphone-ku. Mereka nampak senang sekali karena berhasil membuat kenang-kenangan bersamaku. Sayangnya, foto di dalam handphone tersebut tidak dapat ditransfer ke dalam PC.
Lain lagi dengan siswa kelas 5. Di kelas ini ada seorang murid cowok berambut ikal (kita sebut dia si Ikal) yang suka bandel dan tidak mau mendengarkan teman sekelompokku yang perempuan. Aku lupa entah bagaimana, tapi si Ikal ini jadi dekat denganku. Sampai suatu ketika, saat kami sekelompok baru saja habis bepergian dan kembali ke rumah kediaman, kami sungguh terkejut. Bagaimana tidak, anak-anak murid kelas 5 itu sudah menunggu kami di teras depan rumah! Rupanya si Ikal yang mengajak mereka untuk mencari kediaman kami dan main kesini tanpa terlebih dahulu memberitahukan pada kami. Sungguh suatu kejutan menyenangkan ^_^
Puncak kegiatan kami di MI tersebut adalah pembuatan taman sekolah. Aku pun berbagi ilmu kepada murid kelas 5, karena mereka yang nantinya akan membantu membuat taman ini. Aku sampaikan bagaimana cara menggali lubang, menanam tanaman sesuai polanya, mengapa tanaman tersebut yang kupilih, cara membuat pupuk alami, dsb.
Aku dkk pun membawa aneka bibit tanaman ke MI tersebut, di mana para murid sudah terlebih dahulu menyiapkan lubang berdasarkan pola yang kubuat di tanah. Sorak sorai menyambut kehadiran kami yang membawa tanaman aneka warna dan rupa itu. Kami bergembira bersama menanam aneka tanaman ini, dan mereka juga penuh suka cita akan menjaga taman tersebut. Ya, aku mencoba membuat agar mereka pun turut merasa memiliki terhadap taman sekolah ini.
Akhirnya... hari perpisahan pun tiba... Sebagian murid nampak sedih, bahkan murid dari kelas 3 tak kuasa menahan air mata. Ingin rasanya aku melihat mereka tumbuh besar dan dewasa. Terkadang, aku masih kangen untuk bertemu mereka dan berpikir apakah mereka masih ingat padaku. Setiap momen kebersamaan kami dengan para murid itu selalu terabadikan dengan kamera handphone-ku. Namun, handphone-ku kini sudah entah kemana sementara foto-foto di dalamnya tak dapat ditransfer ke media lainnya...
Pengalamanku ini terjadi sekitar tahun 2006. Ketika itu, aku sedang menjalani masa KKP (Kuliah Kerja Praktek) sebagai seorang mahasiswa S1 Arsitektur Lanskap di salah satu PTN di Bogor. Ya, tepat sekali! Aku memang senang mendisain, itu sebabnya aku mengambil jurusan ini.
(Aku dan kelompok KKP-ku foto bareng pemilik rumah tempat kami menginap selama KKP)
Aku memperoleh lokasi KKP di salah satu kelurahan di daerah Bogor (huhuhu... padahal aku inginnya bisa keluar provinsi, seperti kawanku yang mendapat tempat di Brebes). Singkat cerita, kelompok KKP-ku terdiri dari 6 orang yang berasal dari berbagai bidang ilmu berbeda. Masing-masing dari kami membuat praktek tersendiri. Namun karena kami satu kelompok, sehingga kami pun bahu membahu guna menyelesaikan setiap program yang kami rancang bersama.
Sebagai seorang mahasiswa Arsitektur Lanskap, aku merencakan untuk merancang taman di sekolah MI (Madrasah Ibtidaiyah) di kelurahan tersebut, taman di kelurahan, dan taman di pekarangan rumah tempat kami menumpang tinggal. Antara sekolah, kantor kelurahan, dan pekarangan rumah, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, lho!
Nah, salah seorang teman sekelompokku, yang juga ketua kelompok kami, membuat program untuk mengajar di MI tersebut. Lantas, kami pun berkunjung ke rumah Kepala Sekolah (yang ternyata juga pemilik MI tersebut). Sambutan hangat pun kami terima, bahkan pihak sekolah dengan senang hati mempersilakan kami untuk turut mengajar di sana. Tentunya, program praktekku juga turut disisipkan, yakni membuat taman sekolah.
Hmm.. hari pertama mengajar pun tiba. Aku mengenakan pakaian semi formal plus jaket motor. Ketua kelompok kami mengenakan kemeja dan memang terlihat sebagai sosok akademisi. Sementara, 4 orang kawan kami yang lain adalah perempuan dan salah seorang di antaranya cukup terlihat seperti berasal dari keluarga yang cukup berada.
(Beginilah gayaku berpakaian saat pertama berkenalan dengan murid di MI tersebut. Tidak terlihat seperti seorang pengajar ya? Hehe..)
Kami pun mengunjungi ruangan kelas 3 di MI tersebut. Kelima rekanku masuk duluan ke dalam kelas, sementara aku masih berdiri di luar melihat kondisi di dalam sambil dag dig dug... Saat Ketua Kelompok kami itu mencoba menerangkan sesuatu, ternyata anak-anak MI (yang masih imut-imut) itu tidak mendengarkan. Mereka malah asyik bermain-main sendiri dan tertawa. Sementara, rekan-rekanku yang perempuan juga belum berpengalaman menghadapi anak-anak seusia mereka (walau saya yakin, mereka cukup terampil jika berhadapan dengan orang dewasa). Uh-oh, kondisi ternyata di luar dugaan, kami bingung harus bagaimana menghadapi mereka.
Saat itulah, aku teringat sebuah manga (yang kemudian dijadikan drama Jepang) berjudul "Great Teacher Onizuka (GTO)". Pernah nonton? Yup, ceritanya Onizuka itu seorang mantan Ketua Geng Motor yang cukup ditakuti, walau dia sebenarnya adalah seorang gentleman yang baik hati. Onizuka dan kawan-kawannya pun lantas ingin mencari penghasilan dengan cara yang baik-baik. Salah seorang kawan gengnya justru malah menjadi polisi, dan siapa sangka ternyata Onizuka menjadi seorang guru!! Tapi yang dia ajar bukanlah murid biasa. Murid-murid tersebut terkenal dengan kebrutalan dan kenakalannya yang luar biasa di luar batas etika.
(Salah satu scene dalam GTO remake: Onizuka sedang bermain bersama para muridnya. Sumber gambar: http://tylerraiz.files.wordpress.com)
Saat itulah hadir sosok seorang guru bernama Onizuka, yang rela mengorbankan nyawanya demi murid-muridnya itu dan membimbing mereka kembali ke jalan yang benar. Di kemunculan pertamanya di kelas tersebut, ia menuliskan "GTO" di papan tulis, yang berarti "Great Teacher Onizuka".
Ups, ceritanya jadi terlalu panjang. Back to the story... Jadi, berbekal pengalamanku menonton drama tersebut, aku yakin bahwa aku dapat mengambil perhatian anak-anak itu melalui pendekatan persuasif. Di saat teman-teman sekelompok aku sudah menyerah, aku kemudian tiba-tiba masuk ke dalam kelas (dengan masih mengenakan jaket motor). Kuambil sebuah kapur, dan dengan keterampilanku menggambar, kutuliskan namaku dengan bentuk yang unik (terinspirasi dari Onizuka).
Usai menggambar, aku pun memperkenalkan diri. Para murid yang tadinya berisik dan sibuk sendiri perlahan satu per satu terdiam. Sepertinya baru kali itu mereka melihat ada guru yang menggambar bentuk namanya dengan unik untuk sekadar berkenalan. Mereka nampak terkesima (ups, agak lebay ya ceritanya :P ), bahkan beberapa anak sampai maju mendekati papan tulis untuk mengamati gambar tersebut.
Beberapa detik kemudian... riuh kicauan mereka ingin berkenalan denganku dan mendengarkan materi pelajaran. Ya, caraku menyampaikan pelajaran tidak sebagai orang yang merasa lebih tahu dari mereka, tapi aku coba menempatkan diri juga sebagai "orangtua", atau bahkan "teman" bagi mereka. Kubuat mereka merasa, bahwa aku pun ingin mengenal mereka semua, satu per satu, tak hanya diri mereka sebagai murid, tapi sebagai anak manusia.
Rupanya, kejadian itu menarik rasa ingin tahu murid-murid kelas 4 dan 5. Sebagian dari mereka ada yang mengintip ke kelas kami saat aku tengah mengajar. Dan, begitu kelas selesai dan aku keluar, rupanya diriku telah ditunggu oleh mereka. Mereka "menembak"-ku agar mau mengajar di kelas mereka juga.
Sejak saat itu, aku dkk bergantian mengajar di kelas 3, 4 dan 5. Kami tidak mengajar di kelas 6 karena mereka masuknya siang. Tapi, entah mengapa setiap kali aku yang masuk ke kelas, mereka nampak begitu antusias, bahkan tanpa segan berteriak "horee....".
Saat aku mengajar, biasanya kucoba menghidupkan suasana dengan berinteraksi dengan para murid sambil mencoba mengenal mereka. Aku pun mengambil contoh-contoh dari praktek kehidupan sehari-hari dan meminta mereka untuk berbagi cerita. Tak jarang aku mengajar sambil sesekali membuat gambar di papan tulis untuk menarik perhatian mereka.
Lucunya, beberapa murid kelas 3 ada yang sampai bermanja-manja padaku, seolah aku ini seperti kakaknya atau orangtuanya. Bahkan, aku sampai merasa jadi artis karena murid-murid di kelas itu menodongku untuk foto bareng mereka usai sekolah. Jadi, di antara mereka itu ada seorang anak perempuan yang nampak bisa mengoordinir teman-temannya. Anak itu berkata, "Sstt.. kita nanti mau foto-foto sama Pak Miftah. Tapi cuma kita-kita aja, jangan sampai kelas lain pada tau ya.."
Alhasil sepulang sekolah, mereka langsung buru-buru menutup pintu kelas dan memasang gorden untuk menutup jendela. Lalu mereka memaksaku untuk foto bareng mereka menggunakan handphone-ku. Mereka nampak senang sekali karena berhasil membuat kenang-kenangan bersamaku. Sayangnya, foto di dalam handphone tersebut tidak dapat ditransfer ke dalam PC.
Lain lagi dengan siswa kelas 5. Di kelas ini ada seorang murid cowok berambut ikal (kita sebut dia si Ikal) yang suka bandel dan tidak mau mendengarkan teman sekelompokku yang perempuan. Aku lupa entah bagaimana, tapi si Ikal ini jadi dekat denganku. Sampai suatu ketika, saat kami sekelompok baru saja habis bepergian dan kembali ke rumah kediaman, kami sungguh terkejut. Bagaimana tidak, anak-anak murid kelas 5 itu sudah menunggu kami di teras depan rumah! Rupanya si Ikal yang mengajak mereka untuk mencari kediaman kami dan main kesini tanpa terlebih dahulu memberitahukan pada kami. Sungguh suatu kejutan menyenangkan ^_^
Puncak kegiatan kami di MI tersebut adalah pembuatan taman sekolah. Aku pun berbagi ilmu kepada murid kelas 5, karena mereka yang nantinya akan membantu membuat taman ini. Aku sampaikan bagaimana cara menggali lubang, menanam tanaman sesuai polanya, mengapa tanaman tersebut yang kupilih, cara membuat pupuk alami, dsb.
Aku dkk pun membawa aneka bibit tanaman ke MI tersebut, di mana para murid sudah terlebih dahulu menyiapkan lubang berdasarkan pola yang kubuat di tanah. Sorak sorai menyambut kehadiran kami yang membawa tanaman aneka warna dan rupa itu. Kami bergembira bersama menanam aneka tanaman ini, dan mereka juga penuh suka cita akan menjaga taman tersebut. Ya, aku mencoba membuat agar mereka pun turut merasa memiliki terhadap taman sekolah ini.
Akhirnya... hari perpisahan pun tiba... Sebagian murid nampak sedih, bahkan murid dari kelas 3 tak kuasa menahan air mata. Ingin rasanya aku melihat mereka tumbuh besar dan dewasa. Terkadang, aku masih kangen untuk bertemu mereka dan berpikir apakah mereka masih ingat padaku. Setiap momen kebersamaan kami dengan para murid itu selalu terabadikan dengan kamera handphone-ku. Namun, handphone-ku kini sudah entah kemana sementara foto-foto di dalamnya tak dapat ditransfer ke media lainnya...